Kepada teman-teman yang mengatasnamakan FPI cobalah kita merenungkan Sirah Nabawiyah, contoh Nabi Muhammad SAW itu. Tidak pernah Nabi Muhammad memerintahkan sweeping.
Wawancara Dengan Ketua Umum PBNU: KH. Said Aqil Siradj
esekan yang menyulut kerusuhan berdarah antarumat beragama masih terus terjadi di bumi Nusantara. Penyerangan terhadap umat Syiah, Ahmadiyah, dan kelompok minoritas masih menghiasi halaman berita media massa.
Wajah Islam pun tercoreng, mendapat cap sebagai agama yang menghalalkan kekerasan. Penyerangan warga Nahdliyin terhadap umat Syiah di Madura beberapa waktu lalu juga merusak citra NU sebagai ormas yang memegang prinsip tawajud modern, tawajud balance, dan tawajud toleran.
“Ada kesalahpahaman yang sangat-sangat, yaitu dikira Islam hanya sebatas akidah dan syariah,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) K.H. Said Aqil Siradj.
Tokoh-tokoh besar NU dulu mencontohkan bisa hidup berdekatan dan saling menghormati dengan pesantren Syiah. Said menyesalkan banyaknya kelompok yang menafsirkan Islam sebagai Arabisasi. Menurutnya, tidak semua yang khas Arab itu bagus. “Jangan dikira orang pakai baju gamis seperti Nabi Muhammad, ya Abu Jahal paman Nabi yang jahat itu, juga seperti itu,” tegas Said Aqil.
Said pun mengimbau agar Front Pembela Islam (FPI) tidak melakukan sweeping. "Cobalah kita merenungkan Sirah Nabawiyah, contoh yang dari Nabi Muhammad SAW itu. Tidak pernah Nabi Muhammad memerintahkan sweeping," kata Said.
Berikut petikan wawancara dengan Kiai Said di Pondok Pesantren Luhur Al Tsaqofah di Jl. Kahfi 1, Ciganjur, Jakarta Selatan:
Memang akhir-akhir ini saya kira, dimulai tahun 1980-an dan semakin ke sini semakin memuncak. Seakan-akan kita bukan bangsa Indonesia lagi, bukan umat Islam Indonesia lagi yang terkenal dengan akhlak, santun, adabnya yang tinggi. Ternyata sekarang muncul kekerasan.
Itu pertama jelas pengaruh dari luar, tidak dari asli tabiat bangsa Indonesia. Kedua, pendidikan yang sangat jauh dari yang kita inginkan. Dalam arti, kita masih gagal dalam mendidik bangsa ini. Ketiga, ada kesalahpahaman yang sangat-sangat, yaitu dikira Islam hanya sebatas akidah dan syariah.
Islam itu dianggap teologi, rukun iman, dan ritual ibadah saja. Padahal, agama Islam itu bukan akidah dan syariah saja. Agama Islam juga agama ilmu pengetahuan, agama intelektual, agama peradaban, agama etika dan moral, agama kemanusiaan, agama kemajuan, itulah Islam sebenarnya, yaitu al-Islamu dinnul wa tsaqofah, dinnul adab wa khadoroh, dinnul thamadun wa insaniyah.
Kita sering menemukan kasus kekerasan seperti kasus terhadap Ahmadiyah dan Syiah ini. Anda melihatnya bagaimana?
Saya dari Nahdlatul Ulama (NU) sudah berkali-kali, baik itu terhadap sesama Islam atau nonmuslim, ketika di situ terjadi konflik, NU selalu berperan. Kita sekuat tenaga memberikan pencerahan dan peringatan kepada warga sendiri, terutama kasus terakhir di Sampang, Madura.
Kita sangat menyesalkan itu, mencoreng Islam itu sendiri. Pertama, Islam tidak seperti itu, walau berbeda pendapat tetap menjaga kerukunan. Kedua, jati diri sebagai warga Nahdliyin atau Ahlussunnah wal Jamaah yang memegang prinsip tawajud modern, tawajud balance, dan tawajud toleran, itu juga mereka langgar atau kehilangan jati diri sebagai warga Nahdliyin, kita sesalkan itu.
Kalau kita lihat, kiai-kiai dahulu, kiai yang sudah sepuh dan meninggal tidak pernah mengajarkan kekerasan. Yang namanya Kiai Abdul Hamid Pasuruan, Jawa Timur yang terkenal Waliyullah dan Kiai besar, itu berdekatan dengan pesantren Syiah YAPPI milik Sayyid Husen al Habsyi itu. Tidak pernah terjadi konflik, malah saling menghormati dan menghargai.
Akhir-akhir ini saja kenapa? Mudah-mudahan kita semua mendapat petunjuk dari Allah.
Idealnya bagaimana kualitas ulama yang diharapkan mampu menyampaikan kampanye toleransi beragama?
Ulama itu memiliki kewajiban mendalami ilmu agama, tidak boleh sembarangan dalam menerangkan atau menjelaskan agama. Jadi harus menguasai Alquran, tafsir, hadis, fikih, ilmu hadis, ilmu kalam. Semua tidak cukup hanya pesantren kilat 1-2 minggu. Bertahun-tahun perjuangan seseorang menjadi ulama dalam mencari ilmu agama, penuh pengorbanan.
Kedua, tugas ulama adalah memberikan bimbingan kepada masyarakat. Nah sudah barang tentu ulama itu sendiri sebagai pendidik dan pembimbing serta pengayom. Ya kita tahu bahwa seorang pendidik itu harus santun, kebapakan, toleran, berlapang dada, seperti suri teladan Nabi Muhammad.
Dalam Alquran disebutkan yang artinya, “Karena watak (sifat) kamu yang santun, maka banyak orang berbondong-bondong masuk Islam. Seandainya kamu (Muhammad) sombong, congkak, niscaya mereka lari
dari kamu”. Dalam Alquran seperti itu dan Nabi Muhammad dipuji karena sifat santunnya itu. Itu juga yang dijalankan para Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa dahulu kala. Mereka semua melakukan dengan pendekatan moral, pergaulan yang baik, tidak pernah mencaci maki, atau menyakiti orang lain.
Contoh, ketika orang Jawa melakukan sesajen. Kata kiai, “Kalau sesajen jangan diisi nasi sekepal begitu, potong kambing juga dong. Kamu kan kaya, potonglah kambing, dibikin gulai, dibikin 20 piring”. Setelah jadi 20 piring, orang itu tanya, “Ini ditaruh di pojok mana?”
Kiai bilang, “Bukan ditaruh di pojok mana, tetapi undang tetangga terutama yang fakir dan miskin, lalu baca doa, itu namanya selamatan, bukan sesajen”. Nah itu cara dakwah yang baik.
Masuk masjid kan harus suci kakinya, bukan lantas ditempel tulisan gede-gede “Lepas Sandal”. Bukan begitu, tetapi dahulu di depan pintu masuk masjid ada kolam air, jadi dulu orang mau masuk masjid atau musala mau nggak mau kan cuci kaki dulu dengan nyemplung ke air. Caranya para aulia berdakwah di Indonesia dahulu.
Sekarang budaya seperti ini tidak ada. Apakah artinya ada arabisasi Islam di Indonesia?
Islam itu tidak harus seperti Arab. Islam itu sangat universal. Memang ada prinsip-prinsip menutup aurat, kan bisa celana, sarung atau gamis. Islam agama kemanusiaan. Ya maaf saja, ada orang bergamis, kepala dililit serban, berjenggot, meniru Nabi Muhammad itu betul. Tetapi bukan sebatas pakaian meniru Nabi Muhammad. Yang lebih penting itu akhlaknya dan moralnya.
Kedua, itu pakaian Abu Jahal kan juga seperti itu, jangan dikira orang pakai baju gamis seperti Nabi Muhammad, ya Abu Jahal paman Nabi yang jahat itu, juga seperti itu. Yang membedakan antara Nabi Muhammad, sahabat Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman dan Ali dengan Abu Jahal dan Abu Lahab ya iman dan takwanya, moral dan akhlaknya, bukan pakaiannya.
Apa sebetulnya akar persoalan intoleransi di Indonesia?
Ya itu tadi, salah pendidikan, salah paham tentang agama, kemelaratan dan kemiskinan, serta kebodohan dan keterbelakangan. Itu paling utama.
Kenapa kita masih susah mendamaikan antara kelompok Sunni dan Syiah di Indonesia?
Sebenarnya, yang namanya agama atau umat Islam berkelompok-kelompok itu justru untuk membangun peradaban. Jadi mazhab Sunni memperkaya argumen sehingga menghasilkan khazanah peradaban. Begitu juga Syiah.
Sebenarnya banyaknya mazhab-mazhab ini ada hikmahnya. Akhirnya, lahirnya peradaban yang luar biasa, Sunni, Syiah, Mutazilah dan seterusnya. Sebab, Indonesia yang kaya raya dengan budaya ini, budaya Jawa dipertahankan, Sunda, Batak, Bugis, Melayu, semua dipertahankan. Akhirnya itulah budaya Indonesia.
Kalau cuma satu budaya, Indonesia miskin. Yang Syiah terus mencari dan menggali dalil-dalilnya, yang Sunni terus menggali dalil-dalilnya. Di situ melahirkan peradaban, di sini melahirkan peradaban Islam semuanya.
Tapi kenapa sering bentrok?
Ya karena bodoh, karena tidak paham, karena sama sekali tidak pernah mengkaji dengan objektif. Memang
beda Sunni dan Syiah, tetapi perbedaan itu tidak harus menyebabkan permusuhan. Dalam hadis dikatakan, “Walaaud’wana Ila alaa dzolimin,” tidak boleh ada permusuhan kecuali terhadap yang melanggar hukum. Pejabat yang zalim, koruptor, teroris, narkoba, pembunuh, bos judi, itu musuh kita bersama. Selain itu tidak boleh ada permusuhan dengan alasan beda agama, beda etnik, beda aliran, beda mazhab, atau beda kelompok.
Walaa’udwana Ila alaa dzolimin ini hadis sering diucapkan para khatib Jumatan di masjid-masjid. Tetapi setelah mengucapkan itu, akhirnya sering mencaci maki orang juga.
Bagaimana dengan aksi kelompok keagamaan seperti FPI yang selama ini sering melakukan sweeping ke tempat maksiat?
Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan para sahabatnya untuk bertindak keras. Selama 13 tahun berada di Mekah sebelum hijrah, di Mekah saat itu ada 360 patung berhala, tidak satu pun dipecahkan oleh Rasulullah.
Setelah hijrah ke Madinah, setelah tahun kedelapan hijriah, Rasulullah kembali ke Mekah dengan kemenangan Islam, masyarakat Mekah sendiri yang sudah masuk Islam dengan kesadaran sendiri menghancurkan berhala yang ada. Itu sejarahnya.Nah kepada teman-teman yang mengatasnamakan Front Pembela Islam (FPI) cobalah kita merenungkan Sirah Nabawiyah, contoh yang dari Nabi Muhammad SAW itu. Tidak pernah Nabi Muhammad memerintahkan sweeping.
Redaktur: ML
Sumber: Majalah Detik
Tidak ada komentar
Posting Komentar