Apa Kata Ustadz?
Terima kasih, Ibu Husniyati, dan kami ucapkan, “Taqabbalallah minna wa minkum, semoga Allah menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita semua. Amiiin…”
Ustadz Segaf yang terhormat, terlebih dulu perkenankan saya menghaturkan “Selamat ‘Idul Fithri 1433 H, minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin” kepada Habib dan segenap pembaca alKisah.
Bib, sehari setelah Lebaran kemarin, keluarga besar kami, seperti yang telah berjalan sejak dulu, hendak berziarah ke makam orangtua kami. Namun, salah seorang anggota baru keluarga kami mengatakan bahwa sebaiknya yang wanita tidak perlu ikut, sebab agama melarang wanita untuk berziarah. Apalagi, “Di sana kan kita berdzikir, berdoa, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan itu jelas dilarang bagi wanita yang sedang nifas,” katanya. Jadi, karena ada salah satu anggota keluarga kami yang baru saja melahirkan (belum empat puluh hari), menurutnya itu lebih terlarang lagi.
Namun, karena sudah menjadi kebiasaan sejak dulu, kami pun tetap berangkat, sambil menyisakan persoalan yang terasa menggantung dalam perasaan hingga sekarang.
Habib, sebenarnya bagaimana hukum wanita yang sedang berziarah? Benarkah wanita yang sedang datang bulan tidak boleh berdzikir?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Husniyati Ardani
Poltangan, Pasar Minggu
Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Ustadz Segaf |
Ibu Husniyati, hukum ziarah bagi seorang wanita adalah makruh, dengan catatan saat melaksanakan ziarah itu ia tidak melanggar ketentuan-ketentuan syari’at. Namun jika ia berziarah, misalnya, dengan membuka aurat yang diharamkan, atau melanggar ketentuan-ketentuan lain yang diharamkan, haram atas wanita, baik berziarah maupun mengiringi jenazah.
Dan bagi wanita yang dapat menutup auratnya dan memenuhi persyaratan safar, disunnahkan menziarahi kubur Rasulullah SAW. Demikian pula kubur nabi-nabi yang lainnya atau dari kalangan ulama dan shalihin.
Jadi, Ibu Husniyati, agama tidak melarang. Hanya saja hukumnya makruh bagi wanita. Dimakruhkannya wanita untuk berziarah karena prosesi ziarah itu berpotensi menjadi ajang bagi mereka menumpahkan tangisnya, sedangkan kita sama mengetahui bahwa perasaan wanita itu lembut, sehingga mudah menangis, bahkan dikhawatirkan menjadi berkeluh kesah atau kurangnya rasa sabar lantaran menderita kesukaran.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah melalui seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur anaknya, beliau bersabda:
“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas terlihat, Rasulullah SAW mengingatkan wanita yang tengah menangis di sisi kubur anaknya itu agar tetap taqwa kepada Allah SWT dan tetap bersabar. Rasulullah SAW mengingatkan demikian agar tidak sampai keluar dari lisan wanita itu kalimat-kalimat yang keliru menyikapi takdir yang ia terima.
Namun demikian, hadits di atas tetap saja mengindikasikan bahwa ziarah bagi seorang wanita tidaklah dilarang, sebab kalau memang demikian tentu Rasulullah SAW mencegah wanita itu dari berziarah.
Sebuah hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Ummi Athiyyah menyebutkan:
“Kami kaum wanita dilarang mengiringi (mengantar) jenazah dan tidak dikerasi larangan itu atas kami.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Ibu Husniyati, tujuan seseorang berziarah itu bermacam-macam. Ada yang untuk mengingat kematian, yang pasti akan datang. Ada yang untuk mengambil keberkahan dari orang-orang shalih. Adakalanya pula untuk menunaikan hak. Menziarahi orangtua-orangtua kita termasuk kategori tujuan berziarah yang terakhir, yaitu untuk tujuan memenuhi hak mereka sebagai orangtua.
Berbagai tujuan berziarah itu sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam Nashaih al-’Ibad:
“Dan ziarah kubur itu adakalanya untuk semata-mata mengingat mati dan akhirat, maka adalah ia dengan melihat pekuburan-pekuburan tanpa mengetahui penghuni-penghuni kubur itu, walaupun pekuburan orang-orang kafir. Atau untuk seumpama berdoa, maka disunnahkan bagi kubur tiap muslim. Atau untuk mengambil keberkahan, maka disunnahkan bagi kubur orang baik-baik. Atau untuk menunaikan hak, seperti kubur teman dan orangtua.”
Ingat Allah Setiap Saat
Ibu Husniyati, mengenai pertanyaan yang kedua, terlebih dulu kami sampaikan bahwa kemungkinan nifasnya wanita bukan sampai empat puluh hari, tapi sampai enam puluh hari. Waktu empat puluh hari adalah waktu pada ghalibnya, artinya itu kebiasaannya saja. Sedang maksimum nifas adalah enam puluh hari. Dan juga bukan berarti nifas mesti sekurangnya empat puluh hari, karena nifas juga mungkin saja kurang dari itu, tergantung keadaan seseorang. Karena sekurang-kurangnya nifas adalah seperludahan atau sekali keluar darah saja.
Para pembaca alKisah sekalian, khususnya saudari penanya, Ibu Husniyati, saya sampaikan di sini bahwa tidak ada larangan bagi wanita yang masih dalam nifas untuk melakukan dzikir. Jadi boleh baginya bershalawat, bertahlil, bertasbih, dan sebagainya. Bahkan, sebagai seorang muslim kita memang dianjurkan agar selalu ingat Allah setiap saat.
Adapun yang terlarang bagi orang yang sedang haidh, nifas, atau yang sedang berhadats besar, adalah membaca Al-Qur’an dengan niat tilawah, atau dimaksudkan membaca kitab suci Al-Qur’an. Hukumnya haram. Demikian pula bila ia niatkan untuk tilawah dan dzikir, tetap menjadi haram hukumnya.
Adapun bila ia membaca doa-doa atau dzikir-dzikir yang merupakan bagian dari redaksi ayat-ayat Al-Qur’an (seperti doa Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar atau ucapan dzikir semisal Hasbunallah wa ni’mal wakil) dan ia maksudkan itu semata-mata sebagai dzikir dan doa, itu berarti ia tidak sedang membaca Al-Qur’an. Itu artinya ia sedang berdoa dan berdzikir. Maka hal itu diperbolehkan.
Demikian, semoga keterangan ini bisa dimengerti.
===
Fiqhun-Nissa’
Diasuh oleh: Ustadz Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I.
Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur
Sumber: Majalah Alkisah
Tidak ada komentar
Posting Komentar