BREAKING NEWS
latest

728x90

header-ad

468x60

header-ad

Ziarah Kubur Bagi Wanita

Apa Kata Ustadz?

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ustadz Segaf yang terhormat, terlebih dulu perkenankan saya menghaturkan “Selamat ‘Idul Fithri 1433 H, minal ‘aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin” kepada Habib dan segenap pembaca alKisah.
Bib, sehari setelah Lebaran kemarin, keluarga besar kami, seperti yang telah berjalan sejak dulu, hendak berziarah ke makam orangtua kami. Namun, salah seorang anggota baru keluarga kami mengatakan bahwa sebaiknya yang wanita tidak perlu ikut, sebab agama melarang wanita untuk berziarah. Apa­lagi, “Di sana kan kita berdzikir, berdoa, membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan itu jelas dilarang bagi wanita yang sedang nifas,” katanya. Jadi, karena ada salah satu anggota keluarga kami yang baru saja melahirkan (belum empat puluh hari), menurutnya itu lebih terlarang lagi.
Namun, karena sudah menjadi ke­bia­sa­an sejak dulu, kami pun tetap ber­ang­kat, sambil menyisakan persoalan yang terasa menggantung dalam pera­sa­an hingga sekarang.
Habib, sebenarnya bagaimana hu­kum wanita yang sedang berziarah? Be­narkah wanita yang sedang datang bulan tidak boleh berdzikir?
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Husniyati Ardani
Poltangan, Pasar Minggu

Wa ‘alaikumussalam wr. wb.
Ustadz Segaf
Terima kasih, Ibu Husniyati, dan kami ucapkan, “Taqabbalallah minna wa minkum, semoga Allah menerima amal ibadah puasa Ramadhan kita semua. Amiiin…”
Ibu Husniyati, hukum ziarah bagi se­orang wanita adalah makruh, dengan ca­tatan saat melaksanakan ziarah itu ia ti­dak melanggar ketentuan-ketentuan sya­ri’at. Namun jika ia berziarah, misal­nya, dengan membuka aurat yang di­haramkan, atau melanggar ketentuan-ketentuan lain yang diharamkan, haram atas wanita, baik berziarah maupun mengiringi jenazah.
Dan bagi wanita yang dapat menutup auratnya dan memenuhi persyaratan safar, disunnahkan menziarahi kubur Ra­sulullah SAW. Demikian pula kubur nabi-nabi yang lainnya atau dari kalang­an ulama dan shalihin.
Jadi, Ibu Husniyati, agama tidak me­larang. Hanya saja hukumnya makruh bagi wanita.  Dimakruhkannya wanita untuk berziarah karena prosesi ziarah itu berpotensi menjadi ajang bagi mereka menumpahkan tangisnya, sedangkan kita sama mengetahui bahwa perasaan wanita itu lembut, sehingga mudah me­na­ngis, bahkan dikhawatirkan menjadi berkeluh kesah atau kurangnya rasa sabar lantaran menderita kesukaran.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah melalui seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur anaknya, beliau bersabda:
“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas terlihat, Rasulullah SAW mengingatkan wanita yang tengah menangis di sisi kubur anaknya itu agar tetap taqwa kepada Allah SWT dan tetap bersabar. Rasulullah SAW mengingat­kan demikian agar tidak sampai keluar dari lisan wanita itu kalimat-kalimat yang keliru menyikapi takdir yang ia terima.
Namun demikian, hadits di atas tetap saja mengindikasikan bahwa ziarah bagi seorang wanita tidaklah dilarang, sebab kalau memang demikian tentu Rasul­ul­lah SAW mencegah wanita itu dari ber­ziarah.
Sebuah hadits lainnya yang diriwayat­kan oleh Ummi Athiyyah menyebutkan:
“Kami kaum wanita dilarang mengiri­ngi (mengantar) jenazah dan tidak di­kerasi larangan itu atas kami.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Ibu Husniyati, tujuan seseorang ber­ziarah itu bermacam-macam. Ada yang untuk mengingat kematian, yang pasti akan datang. Ada yang untuk mengambil keberkahan dari orang-orang shalih. Ada­kalanya pula untuk menunaikan hak. Menziarahi orangtua-orangtua kita ter­masuk kategori tujuan berziarah yang ter­akhir, yaitu untuk tujuan memenuhi hak mereka sebagai orangtua.
Berbagai tujuan berziarah itu seba­gai­mana dinyatakan oleh Syaikh Nawa­wi Al-Bantani dalam Nashaih al-’Ibad:
“Dan ziarah kubur itu adakalanya un­tuk semata-mata mengingat mati dan akhi­rat, maka adalah ia dengan melihat pe­kuburan-pekuburan tanpa mengeta­hui penghuni-penghuni kubur itu, walau­pun pekuburan orang-orang kafir. Atau untuk seumpama berdoa, maka disun­nah­kan bagi kubur tiap muslim. Atau un­tuk mengambil keberkahan, maka disun­nahkan bagi kubur orang baik-baik. Atau untuk menunaikan hak, seperti kubur te­man dan orangtua.”
Ingat Allah Setiap Saat
Ibu Husniyati, mengenai pertanyaan yang kedua, terlebih dulu kami sampai­kan bahwa kemungkinan nifasnya wa­nita bukan sampai empat puluh hari, tapi sampai enam puluh hari. Waktu empat puluh hari adalah waktu pada ghalibnya, artinya itu kebiasaannya saja. Sedang maksimum nifas adalah enam puluh hari. Dan juga bukan berarti nifas mesti sekurangnya empat puluh hari, karena ni­fas juga mungkin saja kurang dari itu, tergantung keadaan seseorang. Karena se­kurang-kurangnya nifas adalah seper­ludahan atau sekali keluar darah saja.
Para pembaca alKisah sekalian, khu­susnya saudari penanya, Ibu Husniyati, saya sampaikan di sini bahwa tidak ada larangan bagi wanita yang masih dalam nifas untuk melakukan dzikir. Jadi boleh baginya bershalawat, bertahlil, bertas­bih, dan sebagainya. Bahkan, sebagai seorang muslim kita memang dianjurkan agar selalu ingat Allah setiap saat.
Adapun yang terlarang bagi orang yang sedang haidh, nifas, atau yang se­dang berhadats besar, adalah membaca Al-Qur’an dengan niat tilawah, atau di­maksudkan membaca kitab suci Al-Qur’an. Hukumnya haram. Demikian pula bila ia niatkan untuk tilawah dan dzikir, tetap menjadi haram hukumnya.
Adapun bila ia membaca doa-doa atau dzikir-dzikir yang merupakan bagi­an dari redaksi ayat-ayat Al-Qur’an (se­perti doa Rabbana atina fiddunya ha­sanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar atau ucapan dzikir semisal Hasbunallah wa ni’mal wakil) dan ia maksudkan itu semata-mata sebagai dzikir dan doa, itu berarti ia tidak sedang membaca Al-Qur’an. Itu artinya ia se­dang berdoa dan berdzikir. Maka hal itu diperbolehkan.
Demikian, semoga keterangan ini bisa dimengerti.
===
Fiqhun-Nissa’
Diasuh oleh: Ustadz Segaf bin Hasan Baharun, M.H.I.
Pengasuh Pondok Puteri Pesantren Darul Lughah wad Da’wah, Bangil, Jawa Timur
Sumber: Majalah Alkisah
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar