BREAKING NEWS
latest

728x90

header-ad

468x60

header-ad

NU dan Negara Islam

Laporan Khusus

Oleh: Alm. KH. Abdurrahman Wahid

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: Apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan  oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya  mengenai NI. Ini juga berarti, keinginn tahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita  jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata  lain, masalah pendapat NU sekarang bukan hanya menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan  sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum  bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan  tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses  berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah  keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki  seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh  gagasan NI. Dalam sebuah tesis MA -yang dibuatnya beberapa  tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul,yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal  Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab  sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahtsul al-masa’il (pembahasan masalah).

Salah sebuah masalah yang diajukan  kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi  kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan  Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita  waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang  non-muslim?   Muktamar yang dihadiri oleh ribuan  orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya  secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab  pertama, karena kaum muslimin merdeka dan  bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah dan  Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan  dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul  “Bughyah al-Mustarsyidin“. Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn  Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh)  memperkenankan adanya “pimpinan berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti  pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia  Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga  tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi  efektif (syaukah).

Konsep ini, yaitu adanya  pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur’an dengan Firman Allah; “Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan  kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan  pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka,  seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian(erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan,an janganlah terbelah-belah/saling bertentangan” (wa’tashimu bi habli Allahi jami’an wa la tafarraqu).


Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam -menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang  jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Disini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi  Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat  kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak  organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini  disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di  antara para warga negara, di samping kenyataan  ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak  dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran  formal yang baku tentang negara, yang jelas ada  adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari’ah Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari ini telah Ku- sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan  Islam “sebagai” agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian,Islam tidak harus mendirikan negara agama,melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. demikian pula, Firman Allah;“Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan” (Udkhulu fi al-silmi kaffah).Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga,sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu  ungkapan Kitab Suci; “Orang yang tidak  “mengeluarkan” fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain  dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-” (Wa man lam yahkum bima anzala  Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak  ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan  NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada  adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat  memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at, juga tidak karena undang-undang  negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari’at Islam.

Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari’ah Islam, tidak lagi  memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama,seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah  setelah Nabi Muhammad SAW wafat.Inilah yang membuat mengapa NU tidak  memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan  (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu  dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang  sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat  yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama  secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat  saja? Orang “berakal sehat” tentu akan  berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau  memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan  tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua  warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn  Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang  berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu  mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan  sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh bangsa yang  berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan  ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga  dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang  secara de facto melarang orang bermadzhab lain.

Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU  bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu  saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena  sikap Saudi Arabia terhadap madzhab-madzhab  non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan  kata lain, pertentangan pendapat antara  “pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto  demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain  itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang  menimbulkan sikap yang sama pada “pihak seberang”. Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak  mau mengalah itu membuat gagasan membentuk  NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah  utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat  meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin  nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu.

Jadi  gagasan yanag semula tampak indah itu, pada  akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam- macam sikap para warga negara, yang hanya  sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan  sejarah. Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita,maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian  pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di
negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan  pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin
kita saksikan kembali dalam sejarah modern  bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan?


Sumber: Duta Masyarakat, 23 Februari  2003
« PREV
NEXT »

Tidak ada komentar