SUARA-MUSLIM.COM, Jakarta ~ Beberapa waktu lalu situs PKS Piyungan memuat ocehan dari Fahmi Salim tentang tuduhannya bahwa ulama Al-Azhar yang datang ke Indonesia beberapa hari lalu merupakan utusan militer Mesir. Merespon tuduhan keji itu, redaksi mosleminfo.com langsung melakukan menghubungi salah seorang pengurus Ikatan Alumni Al-Azhar di Jakarta. Di dalam postingan pkspiyungan yang berjudul “Siasat Busuk Junta Militer Mesir Datangi MUI dan Ormas Islam Indonesia”, ternyata banyak fitnah dan tuduhan belaka. Bahkan Fahmi Salim sama sekali tidak tahu persoalan ini, dan hanya mendapatkan info dari salah seorang wartawan di MUI yang disinyalir lemah dalam penguasaan bahasa Arabnya. Akibatnya, ocehan Fahmi Salim pun sama sekali tidak layak untuk dipercaya, apalagi dijadikan sebuah berita. Namun, karena redaksi mosleminfo.com melihat ocehan Fahmi tersebut banyak disebarkan oleh mereka-mereka yang membenci ulama Al-Azhar, maka kami perlu memberikan klarifikasi fakta sesungguhnya. Untuk lebih jelaskan mari kita simak penjelasan langsung dari bapak Romli Syarqawi, orang yang menemani ulama Al-Azhar selama di Indonesia.
=================
Tentang kunjungan Prof. Dr. Ahmed M. Karema ke Indonesia. Secara kebetulan, sy berkesempatan mendampingi beliau selama kunjungan empat hari (2-5 Sept 2013) di Indonesia. Beberapa teman menuduh kunjungan Guru Besar Hukum Islam Univ. Al-Azhar tsb sebagai utusan Pemerintah Sementara dan militer Mesir untuk memengaruhi opini publik Indonesia thd krisis politik di Mesir. Sepengetahuan sy, tuduhan tsb tidak berdasar dan perlu diluruskan:
1. Dr. Karema datang ke Indonesia sbg delegasi Al-Azhar cq. Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional di Cairo atas undangan Kementerian Agama RI untuk menghadiri Simposium internasional II ttg “Madrasah in The Global Context”, sbg salah satu pembicara utama. Simposium tersebut dilaksanakan di Hotel Horison Bekasi (3-5 Sept 2013). Dengan demikian, Dr. Karema adalah tamu resmi Pemerintah Indonesia cq. Kementerian Agama RI.
2. Selain mengikuti Simposium, Dr. Karema jg melakukan kunjungan ke Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (3 Sept 2013) dan menghadiri Undangan Fak. Dirasat Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk memberikan kuliah umum (4 Sept 2013), selain bertemu dengan Pengurus Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional Cabang Indonesia (2 Sept 2013). Sebagai catatan tambahan, dari seluruh pertemuan yang dihadiri Dr. Karema, tidak satu acara pun yang dikhususkan untuk berbicara ttg krisis politik Mesir. Di Simposium, tema yg diberikan terkait pola pengembangan madrasah yang dilakukan Al-Azhar. Di MUI, topik yang diajukan adalah perkembangan Islam dan Umat Islam dewasa ini, khususnya terkait kesemrawutan fatwa dan fatwa-fatwa politik. Begitu pula kuliah umum di Fak. Dirasat Islamiyyah UIN Jakarta, judul yang diminta adalah metode Ushul Fiqh dalam menjawab persoalan masyarakat modern. (Kebenaran ttg hal ini, bisa diperiksa di seluruh arsip2 surat terkait di lembaga2 tsb). Tapi tak urung, di tengah diskusi, muncul pertanyaan2 ttg perkembangan terkini di Mesir. Untuk menjawab pertanyaan2 itulah, Dr. Karema menyampaikan informasi dan pendapatnya ttg krisis politik di Mesir. (Untuk ini jg bisa dikonfirmasi kpd sekian banyak peserta yg hadir di MUI dan Fak. Dir. Islamiyyah UIN Jakarta).
3. Bagi yg mengikuti krisis politik di Mesir, sikap dan pandangan politik Dr. Karema tidaklah asing. Beliau punya data2 dan argumen sendiri yang menjadi landasan sikapnya, terutama dr perspektif ilmu fiqh yg menjadi keahliannya. Yang penting ditekankan, seluruh sikap dan pandangan politiknya sepenuhnya merupakan tanggungjawab pribadi Dr.Karema, dan
tidak ada hubungannya dengan lembaga-lembaga yg mengutus ataupun yg mengundangnya. Di samping itu, sebagai sebuah pendapat, bisa diterima, jg bisa di tolak. Setiap orang punya hak dan kebebasan untuk memilih menerima atau menolak suatu pendapat. Hanya saja, pada suatu kasus perbedaan pendapat, yg dibutuhkan adalah toleransi dan etika berbeda pendapat sebagaimana dicontohkan oleh para ulama pendahulu kita melalui ungkapan: “Pendapatku benar, tp tetap mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah, tp tetap mengandung kemungkinan benar.” Atau adagium: “Perbedaan tak boleh merusak persaudaraan”. Prinsip ini sy kira sangat penting dipegang teguh jika para elit masyarakat, seperti ulama, cendekiawan atau ustadz ingin memberi contoh yg baik thd masyarakat.
4. Jika memang diutus dg “misi” khusus dan dimaksudkan untuk memengaruhi publik Indonesia terkait krisis politik di Mesir spt dituduhkan, seharusnya Dr. Karema tidak hanya berkunjung ke MUI atau Fak. Dirasat Islamiyyah UIN Jakarta sj. Seharusnya beliau jg berkunjung ke ormas2 besar spt NU dan Muhammadiyah, atau lembaga2 negara spt DPR, Kemenlu, dll, atau bahkan organisasi kaum terpelajar spt MIUMI dan sejenisnya. Tentu waktu 4 hari tidak akan cukup untuk itu. Lebih dari itu seharusnya Dr. Karema berusaha mendapatkan publikasi dari media2 nasional di Indonesia agar pesannya sampai ke masyarakat yang lebih luas. Kenyataannya hal itu tidak terjadi dan sama sekali tidak ada upaya untuk melakukannya. Waktu beliau lebih banyak habis di bangku Simposium, dan tidak ada usaha pertemuan dengan media. Tentu sangat naif jika ingin memengaruhi opini publik Indonesia yg demikian besar, strateginya “hanya” dg melakukan kunjungan singkat, serta hanya bertandang ke MUI dan memberikan kuliah umum di Fak. Dirasat Islamiyyah UIN Jakarta.
5. Tanpa bermaksud menggurui atau menasehati, sebelum melontarkan pernyataan atau tuduhan, siapapun (termasuk yg sudah masyhur sbg ulama, cendekiawan, atau ustadz) sebaiknya melakukan klarifikasi, tabayun, dan berusaha mencari informasi yg cukup terlebih dahulu agar kemudian tidak menjadi pemicu fitnah di tengah2 masyarakat. Selain itu, bukankah Islam memerintahkan kita untuk tetap adil, bahkan terhadap orang yang kita benci? Kita boleh berbeda pendapat atau bahkan membenci seseorang, tp kita tidak diperkenankan mencemarkan kehormatannya atau bersikap tidak adil terhadapnya.
Semoga maklum, Wallahu A’lam.
Sumber : mosleminfo
Tidak ada komentar
Posting Komentar